POLITIK-Hiruk-pikuk Pilkada sejatinya merupakan refleksi dari kualitas masyarakat di daerah tempat Pilkada tersebut berlangsung. Layaknya sebuah cermin, dinamika yang tercipta selama periode kampanye menunjukkan seberapa matang masyarakat dalam menilai dan memilih pemimpin mereka. Apakah mereka berbondong-bondong membahas visi-misi para calon pemimpin, menggali lebih dalam setiap program yang ditawarkan, serta mempertanyakan implementasi nyata dari janji politik tersebut? Atau sebaliknya, apakah ruang diskusi justru dipenuhi oleh perdebatan remeh, seperti perilaku simpatisan atau omongan para pendukung yang tak substansial?
Sosial media dan grup WhatsApp menjadi arena tempat percakapan publik berlangsung, yang sayangnya lebih sering memusatkan perhatian pada hal-hal di luar substansi Pilkada. Ketika masyarakat lebih suka meributkan perilaku simpatisan atau mengejek pendukung lawan, kita patut bertanya, apa yang sebenarnya mereka pahami tentang calon pemimpin yang mereka dukung? Padahal, diskusi yang sehat semestinya berfokus pada perbandingan visi-misi, menimbang relevansi program dengan kebutuhan daerah, atau bahkan memberikan kritik membangun terhadap ide-ide yang disampaikan.
Jika masyarakat dapat berfokus pada program-program yang diusung para calon, menggunakan isu-isu tersebut sebagai bahan diskusi kritis untuk bahan croscek dan evaluasi, maka daerah tersebut punya harapan besar untuk bergerak maju. Masyarakat yang kritis dan logis dalam memilih pemimpin akan lebih siap mempertanyakan dan menuntut realisasi program setelah pemimpin terpilih, memastikan perubahan nyata terjadi. Namun, jika warganya lebih sibuk meributkan hal-hal tak substansial atau bahkan sampai merusak hubungan pertemanan dan bertengkar dengan tetangga hanya karena perbedaan dukungan, maka jangan heran jika daerah tersebut sulit maju. Ketika “jagoan” mereka akhirnya duduk di kursi kekuasaan, ketidakpuasan kemungkinan besar tetap akan mengemuka. Mengapa? Karena sejak awal, mereka tak pernah benar-benar paham apa yang diusung oleh calon mereka.
Percakapan publik, terutama yang terekam dalam media sosial dan grup percakapan daring, sesungguhnya menjadi potret kolektif yang memperlihatkan siapa kita dan seberapa dewasa kita dalam berpolitik. Apakah kita termasuk masyarakat yang kritis, logis, atau malah hanya menjadi penggembira tanpa arah yang mudah terseret dalam riuh-rendah Pilkada tanpa memahami esensi dari proses demokrasi tersebut?
Baca juga:
Kembali Gugatan Pendukung Moeldoko Kandas
|
Bandar Lampung, 4 November 2024
Hidayat Kampai